Cari Blog Ini

Jumat, 03 Juni 2011

[Cerpen] Komputer & Hair-Dryer

Pemuda itu tengah berkutat di depan komputernya. Seperti kemarin, siang ini wajahnya lagi-lagi terlihat kesal saat ia dengar adik perempuannya yang masih kuliah menutup pintu kamarnya. Suara pintu di siang hari itu menjadi sebuah kode baginya untuk cepat-cepat mematikan komputernya. 

Ia klik tombol turn off pada monitor komputernya. Dan suara desingan harddisk pun tak lama kemudian sirna, tergantikan suara hair-dryer dari kamar sebelah. Dengan bersungut-sungut ia keluar dari pintu kamarnya menuju ruang televisi.

Pernah suatu hari; beberapa bulan yang lalu, saat itu ia sedang dalam pengerjaan novel pertamanya yang akan segera diajukan kepada sebuah penerbit. Seperti biasa kamar itu dipenuhi asap rokok yang mengepul di kamarnya yang kecil, dan pemuda itu berada di depan monitor komputernya dengan rokok tersemat di bibir. Matanya memicing, entah karena asap rokok yang memedihkan matanya atau karena terlalu lelah ia menatap layar komputer yang mempunyai screen refresh rate 75 Hertz itu setiap harinya. Sementara jari-jarinya sibuk menekan tombol-tombol karakter pada keyboard, kerutan di antara kedua alisnya terlihat dengan jelas seolah-olah ia sedang berpikir dengan keras.

Tiba-tiba ia mendengar suara derungan hair-dryer dari kamar sebelah. Suara itu membuat konsentrasi yang telah ia himpun untuk menyelesaikan novel ini pecah seketika. Seperti orang yang tahu bahwa besok dia akan mati, ia mengerang dengan panjang dan keras. Sambil mengucek-ucek rambutnya yang ikal, ia memejamkan matanya serapat-rapatnya. Wajahnya memerah menahan emosi yang menggelegak-gelegak.

Ketika ia sedang bertingkah seperti orang kesetanan itu, sekonyong-konyong monitor di depannya mendadak menggelap. Suara desingan harddisk komputernya dan desingan hair-dryer di kamar sebelah pun lenyap. Suasana rumah itu tiba-tiba saja senyap.

Mata pemuda itu serta merta membelalak. Nafasnya memburu seperti anjing pemburu. Dan sejurus kemudian suara pekikan keluar dari mulutnya yang mengangga ke langit-langit kamar. 

Sejuta jenis kata makian meluncur tanpa jeda dari mulutnya. Mendengar kata-kata yang sangat gamblang itu, ibunya berlari dengan panik dari dapur ke kamar anaknya. Setibanya di depan kamar anaknya, kata-kata kotor itu masih melayang-layang keluar dari dalam kamar itu dan merayap-rayap ke sekeliling ruang udara. Ibunya yang berada di depan pintu kamar itu segera saja bisa menangkap satu kata yang sedang melayang itu. Dan matanya segera melotot.

Dengan mata yang melotot ia masuk ke dalam kamar anaknya itu. Di dalam kamar, pemuda itu masih terus saja meracau tidak karuan dengan liarnya. Ibunya berusaha menenangkan pemuda itu.

“Tenanglah, anakku! Tenang! Demi Tuhan, apakah Ia mengatakan padamu bahwa esok kiamat akan terjadi?”

Pemuda itu tidak mempedulikan ucapan ibunya, dan dia melanjutkan kegilaannya tadi. Dan kata-kata setan itu memenuhi ruangan kamarnya lagi, memantul-mantul pada dinding-dinding kamarnya. Ibunya akhirnya tidak tahan dengan hawa kamar yang terasa semakin panas akibat kata-kata setan itu. Dan akhirnya ia meninggalkan anaknya sendiri di sana.

Tiba-tiba adik perempuannya dengan rambutnya yang setengah basah, masuk ke kamar itu. Wajah tenang adiknya sangat kontras dengan wajah merah padam milik pemuda yang sedang kesetanan itu.

Sambil berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, adiknya itu menatap kakaknya yang sedang berubah menjadi senjata mesin berpeluru kata-kata negatif itu.

“Kenapa sih, Kak?” tanya adiknya dengan nada yang tenang.

Namun, nada tenang itu bak sebuah telaga jernih yang di dasarnya terendap duri bagi pemuda itu. Ia berdiri di depan adiknya dengan tatapan yang tajam. Tapi ketajaman pandangan itu seakan mampu ditangkis dengan tameng ketenangan wajah adiknya. Dan hal ini membuat kekesalan pemuda itu semakin menjadi-jadi.

“Apa perlunya penggunaan hair-dryer itu? Kamu pikir dengan itu kamu bisa menjadi cantik? Andalkan otakmu, jangan fisik!” cecar pemuda itu dengan wajah yang semakin memerah.

Adiknya dengan tenang beringsut dari hadapannya. Sambil berjalan membelakangi kakaknya ia berkata, “Cih! Komputer kamu lah yang membuat kamu tidak bergaul, berkutat di depan sana, dan membuat cerita-cerita fiksi. Buatlah cerita non-fiksimu sendiri dengan langsung menjadi aktornya.”

Seperti sebuah hujaman tombak yang langsung menohok dada, kata-kata adiknya itu membuat dirinya semakin mengganas. Dan teriakan dari mulutnya segera menggetarkan rumah itu.

Tiba-tiba kotak televisi di ruang tengah itu menyala. Lagu sebuah iklan lotion pemutih kulit segera bersenandung: “I don’t believe… diamond ring…”

Seperti orang yang tercekik, teriakan pemuda itu tertahan. Dan dia merasa seperti orang hutan yang sedang berada di tengah-tengah peradaban yang sudah maju; Suara baling-baling kipas angin yang berputar terdengar dari kamarnya. Suara mesin cuci yang sedang bergetar terdengar dari belakang rumah. Masih sambil menganga, pemuda itu melirik ke kanan dan ke kiri. Ia merasa seperti Tarzan yang baru dibawa ke kota oleh Jane, sangat primitif dengan teriakan hutannya di tengah-tengah suara alat-alat elektronik.

Tiba-tiba Ayahnya datang dari ruang tamu dan segera melongokkan kepala ke kamar adiknya. “Makanya berganti-gantian,” ujarnya. Dan kemudian dia memalingkan wajahnya ke depan anak laki-lakinya, “Makanya berganti-gantian,” ujarnya lagi. Lalu dia kembali ke ruang tamu lagi.

Suara derungan hair-dryer terdengar lagi dari dalam kamar adiknya. Dengan tatapan seperti seorang mafia ia melangkah menuju kamar adiknya. 

Di depan pintu yang sedang terbuka itu pemuda itu berdiri sambil memandangi adiknya yang sedang mengeringkan rambutnya dengan mesin yang menderung itu dengan tajam dan dingin.

Merasa sedang diperhatikan, adiknya menoleh ke arah pintu. Ia lihat kakaknya sedang mematung di sana tak bergerak. Adiknya hanya tersenyum sambil dengan tenangnya mengeringkan rambutnya yang setengah basah. Dan akhirnya pemuda itu kembali ke kamarnya.

Di kamarnya, ia mengambil sebatang rokok yang tergeletak di lantai. Ia sematkan rokok itu di bibir tebalnya dan kemudian tangan kanannya menggesekan roda bergerigi pada pemantik yang digenggamnya. Api dari lobang pemantik itu tercipta saat percikan api kecil itu bertemu dengan gas yang mengalir ke atas. Dan dia mendekatkan nyala api itu ke ujung batang rokoknya. Dengan emosi yang tersirat ia menyedot gulungan tembakau yang tersemat di bibirnya hingga pipinya menyekung. Sedetik kemudian dia hembuskan asap dari dadanya. Dan asap-asap itu kembali bersarang di dalam kamar kecil itu.

Ia menunggu sampai suara derungan hair-dryer dari kamar sebelah itu sirna. Dan pada saat itu terjadi, ia bisa kembali menekan tombol power pada kotak CPU-nya untuk kembali berkutat dengan pengerjaan novel pertamanya.

Karena itulah, siang ini ia terlihat lebih dewasa dengan menyerahkan waktunya itu pada adiknya. Ia hanya tidak ingin komputer kesayangannya itu rusak karena harus mati secara paksa seperti beberapa bulan yang lalu.

Dan siang ini ia memilih duduk di depan televisi untuk menunggu suara derungan hairdryer dari kamar adiknya melenyap. Tak lama kemudian, suara derungan dari kamar itu telah sirna, dan ia lihat adiknya keluar dari kamarnya sambil memanggul tas ransel.

“Sudah,” ujar adiknya dengan air muka tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar